Wartaniaga.com,Batola – Saat remaja lain asyik dengan musik-musik modern, Fahrul Anwar justru menggeluti musik trandisional yang bagi sebagian besar remaja dianggap tidak update. Meski demikian, dirinya tetap kekeh mempertahankan musik kesukaannya ini.
Bahkan, saking cintanya dengan musik Panting, kini dirinya bukan saja memainkan alat musim ini tetapi juga memproduksinya. Berbekal pengalaman dari keluarga dan pengetahuan seni yang didapatnya dari dunia pendidikan hasil karyanya mampu menembus pasar nasional.
Kepada wartaniaga.com, pria lulusan Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin ini, mengatakan apa yang dilakukannya ini merupakan bagian dari pelestarian budaya dan musik daerah.
“ Kalau bukan kita siapa lagi, musik dan budaya yang kita miliki harus kita lestarikan sebagai salah satu kekayaan daerah dan warisan bagi generasi mendatang” ujarnya.
Fahrul sadar, apa yang dilakukannya ini bukan pekerjaan mudah, tidak semua orang suka dengan musik daerah khususnya generasi muda. Untuk itulah, Fahrul lebih banyak memperkenalkan musik panting kepada remaja melalui media sosial.
“ Sekalian jualan, saya juga memperkenalkan alat musik tradisional ini melalui facebook dan instagram, serta jenisnya dan cara memainkannya” ungkap pria yang bermukim di Komplek Keruwing Indah, Handil Bakti, Barito Kuala ini.
Menurutnya, untuk membuat sebuah panting rata-rata membutukan waktu 2 minggu bahkan lebih tergantung jenis dan tingkat kerumitan.
Bukan itu saja, mengingat sulitnya menemukan bahan utamanya berupa kayu, seringkali ia harus mencari ke berbagai pelosok wilayah Kabupaten Barito Kuala.
“ Proses pengerjaannya cukup rumit, dari mencari bahan baku yang berkualitas untuk menghasilkan bunyi yang bagus saya sering harus berkeliling. Karena tidak semua kayu bisa dijadikan bahan bakunya” terangnya.
Meski demikian, Fahrul tidak mematok harga yang mahal untuk karyanya ini. Dibandrol mulai dari Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta. Dalam sebulan produknya ini terjual antara 4-8 buah, jumlah ini sudah termasuk save dan bedug.
“ Pembelinya dari berbagai daerah mulai Banjarmasin,Marabahan, Palangkaraya, Kapuas dan berbagai wilayah di Kalselteng, terkadang juga ada dari pulau Jawa dan beberapa sekolah serta kampus “ ucapnya pria yang memproduksi panting sejak 2011 lalu ini.
Baginya, menggeluti dan mempertahankan panting merupakan tantangan sekaligus peluang. Betapa tidak, di tengah arus globalisasi dimana generasi muda umumnya berkiblat ke budaya barat, musik panting bukan lagi pilihan bagi mereka. Sebaliknya menjadi peluang karena tidak banyak yang menggeluti ini sebagai sebuah usaha.
Jadi, tambah Fahrul, Panting harus tetap lestari sebagai sebuah budaya demi warisan pada generasi mendatang.
Reporter : Fathur Rahman
Editor : Didin Ariyadi
Foto : Koleksi Fahrul