Wartaniaga.com, Banjarmasin- Jam dinding menunjukan pukul 16:05, hajjah Saimah belum juga beranjak dari tempat duduknya. Sehari, tidak kurang 10 jam dirinya harus duduk diteras rumahnya yang berukuran kurang lebih 2 x 5 meter ini. Tangan keriputnya masih cekatan menganyam daun nipah kering untuk dijadikan topi besar atau biasa disebut masyarakat Banjar Tanggui.
Ya, dirinya salah satu pengrajin tanggui yang masih setia dengan profesi yang sudah sangat jarang ditemui di Kota Banjarmasin. Bahkan, di sekitaran tempat tinggalnya, kawasan Gang Indra Jaya Kuin Cerucuk Banjarmasin Barat, hanya tinggal dirinya dan beberapa orang rekannya yang masih mau mengerjakan caping khas Banjar ini.
“ Dulunya hampir semua perempuan di sini berprofesi sebagai pengrajin tanggui, tapi sekarang hanya tinggal 4 sampai 5 orang saja. Itupun semuanya sudah lanjut usia, karena tidak ada pekerjaan lain” ungkapnya.
Menurutnya menjadi pengrajin tanggui bukanlah pekerjaan yang dapat dijadikan sandaran hidup. Betapa tidak, seminggu, nenek 5 cucu ini hanya memperoleh pendapatan Rp 150 ribu. Jumlah ini belum dikurangi dengan pembelian bahan baku yang harganya semakin hari makin mahal. Tak pelak, seminggu itu paling banyak hanya mengantongi uang Rp. 60.000
“ Sekarang tanggui hanya rame pada musim katam (panen padi), itupun pembelinya bukan dari Banjarmasin tetapi pahuluan , Anjir, Aluh-Aluh dan Pelaihari. Kalaupun ada hanya saat Hari Proklamasi RI untuk dijadikan hiasan pintu gerbang komplek perumahan” beber wanita berusia 65 tahun ini.
Hal inilah menjadi salah satu alasan mengapa pekerjaan ini banyak ditinggalkan, meskipun pada saat katam seringkali dirinya kewalahan memenuhi permintaan. Selain itu sulitnya mencari bahan baku juga menjadi persoalan mereka, kerap kali Saimah harus berburu bahan baku hingga ke Kapuas, Kalteng.
Dengan harga jual ke tengkulak hanya Rp. 5000 per buah untuk ukuran sedang, Rp. 3000 ukuran kecil dan Rp 7000 ukuran besar, dirinya sadar keuntungannya hanya bisa untuk menghidupi dirinya sendiri.
“ Alhamdulilah cukup untuk diri sendiri, karena semua anak sudah menikah dan berumah tangga sendiri” ucapnya.
Baginya mempertahankan budaya dan caping khas daerah adalah sebuah kebanggan, walaupun tidak banyak materi yang bisa diperolenya. Setidaknya, kesetiannya terhadap budaya daerah ini bisa menjadi cerita bagi anak dan cucunya nanti.
“ Saya menjadi pengrajin tanggui sejak usia belasan tahun sampai saat ini. Pekerjaan ini sudah mendarah daging, sulit untuk melepasnya” tuturnya
Saimah khawatir sepeninggal mereka, tidak akan ada lagi generasi muda yang mau meneruskan profesi ini. “ Semoga ada generasi muda yang mau belajar dan meneruskan profesi ini” harapnya.
Reporter : Didin Ariyadi
Editor : Didin Ariyadi
Foto : Didin Ariyadi