Wartaniaga.com, Kandangan – Setengah jam sudah H.M Yusuf berdiri menghadap luasnya kebun sawit yang ada di desanya. Sesekali, pria 65 tahun ini tertunduk seakan tidak percaya dengan apa yang dilihat dan dirasakannya saat ini.
Sejak kehadiran PT Subur Agro Makmur ( PT SAM) di tahun 2007 lalu, banyak yang berubah di desa Bajayau, Kecamatan Daha Barat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) ini. Jauh sebelum hadirnya industri sawit, di desa yang terletak 42 km dari kota Kandangan ini terkenal sebagai salah satu wilayah penghasil ikan sungai.

“ Haruan, sapat siam, papuyu dan ikan lainnya sangat mudah didapat sebelum beroperasinya perusahaan sawit, tapi sekarang kami harus membeli ikan dari desa luar” cerita H. Yusuf kepada beberapa wartawan.
Menurut mantan Ketua MUI Kecamatan Daha Barat ini, limbah produksi kelapa sawit telah mencemari sungai yang ada di desanya. “Sudah susah menemukan ikan karena airnya tercemar” ucapnya seraya menunjukan beberapa ruas sungai yang dulu tempat dirinya dan warga desa menangkap ikan.
Bukan itu saja, H.Yusuf juga mengeluhkan hasil panen padinya yang semakin tahun semakin sedikit. Dirinya menuding akibat limbah kelapa sawit yang mempengaruhi kesuburan tanah sehingga tidak menghasilkan saat panen. “ Jangankan padi, palawija saja sekarang sudah susah untuk tumbuh” keluhnya.
Kehadiran PT. SAM yang dulunya digadang-gadang akan memberikan dampak positif bagi masyarakat desa ternyata jauh dari harapan. Bukannya taraf ekonomi masyarakat yang meningkat, sebaliknya ladang penghasilan mereka yang berkurang.
“ Tenaga kerja yang dipakai perusahaan juga saat ini lebih banyak dari luar daerah, putra daerah hanya sebagai kuli dan wakar saja. Itupun jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari” papar H.Yusuf
Dan yang menyedihkan lagi bagi H. Yusuf dan ratusan warga lainnya adalah lebih dari dua ratus hektar tanah mereka diduga diserobot PT SAM dan tanpa ada penyelesaian hingga saat ini.
“Sebenarnya kami sudah lelah mengurus permasalahan ini, tapi karena ini hak kami, maka kami akan perjuangkan” katanya disela-sela menandatangani surat kuasa hukum pada Borneo Law Firm
Senada dengan HM. Yusuf, Kurni juga merasakan hal yang sama, kegagalan panen, sungai yang tercemar dan tanah ladang yang “dirampas” PT. SAM menjadi keluh kesahnya.
“Total yang saya miliki 7 hektar, lain lain juga kurang lebih segitu bersama anak dan istri mereka, total keseluruhan lebih dari 200 hektar” ucap pria yang sempat bekerja di PT SAM ini.

Kurni bahkan hapal betul letak dan pemilik tanah yang kini telah menjadi hutan sawit itu. “ Dari ujung ke ujung saya bisa tunjukan letak dan siapa pemiliknya tanah-tanah itu” tantangnya.
Diharapkan Yusuf, Kurni dan masyarakat desa Bajayau dengan menguasakan persoalan ini ke Borneo Law Firm akan ada keadilan bagi mereka. “ Kami hanya menuntut hak kami, ini tanah kelahiran kami, kami besar, hidup dan mungkin meninggal di desa ini. Kami hanya ingin keadilan, anak cucu kami bisa hidup sejahtera” tegas mereka.
Sementara itu, Direktur Borneo Law Firm, Muhammad Fazri SH MH mengungkapkan pihaknya akan melakukan pendampingan dan upaya hukum untuk memperjuangkan hak masyarakat desa Bajayau.
“ Setelah semua surat kuasa ini ditanda tangani, kami akan melakukan somasi ke PT SAM karena dari analisa yang kami lakukan ada kerugian materil dan inmaterial bagi masyarakat” terangnya.
Fazri menilai perusahaan telah melanggar KUH Perdata pasal 1365, untuk itu pihaknya akan melayangkan somasi terhadap perusahaan.
“ Berdasarkan SOP (standar operation prosedur, red) kantor kami, jika sampai 2 kali kami somasi dan perusahaan tidak mengindahkan, maka kami akan menggungat ke Pengadilan Negeri HSS” ancamnya.
Menskipun demikian, dirinya berharap ada itikad baik dari perusahaan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat desa Bajayau. “Kami berharap persolaan ini bisa cepat selelsai dan tidak harus diselesaikan pada tingkat pengadilan” tandasnya.
Reporter : Alfian Noor
Editor : Y Erwanda
Foto : Alfian Noor




















