Wartaniaga.com, Rantau- Desa Margasari Hulu, Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, sejak dulu terkenal dengan berbagai kerajinan anyaman seperti rotan, purun serta jangang. Khusus untuk kerajinan kupiah (peci, red) jangang, daerah ini menjadi satu—satunya penghasil peci tradisional khas Banjar itu di Kalsel.
Ironisnya, meski menjadi trademark, Pemerintah Kabupaten Tapin tidak memberikan perhatian yang serius terhadap para pengrajin. Buktinya, jumlah merekapun semakin berkurang, yang dulunya hampir semua kaum hawa di desa ini menjadi pengrajin kupiah jangang, sekarang hanya tinggal puluhan saja.
Terlebih lagi, bahan baku yang sulit didapat menjadikan para pengrajin banyak beralih profesi. Walau harga jual yang cukup mahal tetapi tidak sebanding dengan modal serta tenaga yang mereka keluarkan juga menjadi alasan mereka meninggal pekerjaan yang turun-temurun sejak nenek moyang ini.
Mardaniah, misalnya, salah seorang pengrajin mengaku pendapatnya dari menjadi pengrajin kupiah jangang hanya cukup untuk membeli sabun mandi serta kebutuhan bumbu dapur. Betapa tidak, hasil kerajinannya hanya dihargai antara Rp. 50.000 sampai Rp. 150.000 oleh para tengkulak. Tergantung kualitas anyamannya, makin banyak jumlah anyamannya makin mahal harganya.
Terlihat mahal memang, tapi untuk mengerjakan sebuah kupiah jangang membutuhkan waktu 1 minggu hingga 10 hari. Ditambah lagi, bahan baku yang sudah mahal, antara Rp. 200.000 sampai dengan Rp. 250.000 perkilo. Itupun menunggu pasokan dari beberapa kabupaten di Kalteng dan Kaltim.
“ Bahan baku sekarang susah didapat,menunggu penjual yang datang dari Muara Teweh, Purucuk Cahu atau Samarinda. Dan harganya juga sudah mahal Rp. 200.000 perkilo bahkan sampai Rp. 250 ribu” tutur nenek 6 cucu ini kepada wartaniaga.com di kediamnya.
Dirinya mengaku 1 kg bahan baku jangang hanya dapat dibuat 4 buah kupiah dengan kualitas rendah.” Jika anyamannya lebih rapat dan banyak, 1 kg bahan baku hanya bisa dibuat 2 buah kupiah. Jadi bila dihitung keuntungan paling besar Rp.50 ribu untuk satu kupiah dengan waktu pengerjaan 1 minggu” kata wanita yang sudah 35 tahun menggeluti profesi ini.
Meski mengaku jenuh, namun dirinya tidak memiliki keahlian lain selain bertani dan menjadi pengrajin kupiah jangang sebagai mata pencarian. “ Pekerjaan ini sudah kami lakukan sejak lama, turun temurun dari orang tua kami jadi walau hanya cukup untuk beli bumbu dapur, dijalani saja” ungkapnya lirih.
Tidak berbeda dengan Mardaniah, Rusmina yang sudah 15 tahun lebih mengeluti profesi sebagai pengrajin kupiah jangang menuturkan jumlah pengrajin di desanya ini sudah berkurang. Dikatakanya, hanya wanita yang berusia 40 tahun lebih saja yang masih setia menganyam jangang untuk dijadikan kupiah.
“ Pengrajin yang muda seperti saya ini bisa dihitung dengan jari, yang masih banyak bertahan mereka yang berusia 40 tahunan lebih” ungkap wanita 32 tahun ini
Menurutnya, selain tidak lagi menjanjikan sebagai mata pencarian, hasil produksinya juga tidak banyak diminati warga lokal lagi. “ Hanya orang tertentu saja yang mau beli kupiah jangang, harganya sekarang mahal dari Rp.100 ribu, bahkan ada yang mencapai Rp. 800 ribu, sementara untuk membeli peci yang biasa cukup bermodal Rp 50 ribu sudah dapat yang baik” keluhnya.
Selama menggeluti profesi ini, baik Rusmina maupun Mardaniah mengaku tidak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah Kabupaten Tapin baik berupa pelatihan atau pinjaman uang untuk permodalan. Tidak banyak yang mereka harapkan, jika pemerintah berkenan membantu ketersedian bahan baku dan pelatihan pemasaran agar mampu menjual sendiri tanpa tengkulak.
“ Jangankan pinjaman modal, mendapat pelatihan pemasaran juga kami tidak pernah, padahal hasil kerajinan kami ini laku sekali dipulau Jawa , padahal mungkin ditempat kami satu-satunya yang memproduksi kupiah jangang “ ujar mereka.
Penulis : Didin Ariyadi ‘
Foto : Didin Ariyadi