Wartaniaga.com, Jakarta – Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. kemudian belied yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 18 Oktober kemaren merupakan perubahan kedua atas PMK 146 Tahun 2017.
Sebelumnya, Akademisi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Profesor Trubus Rahardian menilai perubahan pertama pada PMK 156 Tahun 2018 merupakan kebijakan yang dapat membuka celah penghindaran pajak, sehingga berpotensi merugikan penerimaan negara.
Ia membeberkan, poin penyederhanaan struktur tarif cukai rokok, salah satunya melalui penggabungan rokok mesin Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang pertahun.
“Hal ini menjadi kunci untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pabrikan rokok besar asing dengan membayar tarif cukai murah alias tidak kembali dijalankan,” bebernya kepada wartaniaga.com, Rabu (30/11).
Menurutnya, padahal, salah satu perintah pertama Presiden Joko Widodo pada Menteri di Kabinet Indonesia Maju yakni menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi.
Lanjutnya, sejumlah kalangan sebelumnya mengungkapkan penghapusan penyederhanaan struktur cukai rokok termasuk penghapusan rencana penggabungan batasan produksi rokok mesin SKM dan SPM.
“Ini akan menciptakan persaingan yang tidak sehat antara pabrikan besar dan kecil,” ungkapnya.
Namun, tidak hanya itu, Trubus menyebutkan kecurangan pabrikan rokok besar asing menjadi tak terkendali, pasalnya mereka membayar tarif cukai murah dengan memproduksi rokok dibawah tiga miliar batang pertahun.
“Akibatnya, potensi penerimaan negara dari cukai rokok tidak akan optimal. Idealnya regulasi cukai rokok dapat menutup celah kebijakan yang merugikan penerimaan negara,” ujarnya.
Meski demikian lanjut Profesor Trubus, Pemerintah sebetulnya melalui PMK 146 2017 ingin menyederhanakan struktur cukai dari 10 layer menjadi 5 layer, yang rencananya akan dilaksanakan 2021. Tetapi sayangnya sebelum kebijakan itu dilaksanakan, karena 2019 tidak ada kenaikan cukai rokok kemudian selanjutnya dibatalkan,
“jadi 2019 masih tetap menggunakan 10 layer cukai, untuk itu, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang masih menerapkan golongan tarif untuk tiap jenis rokok perlu disederhanakan,” ucapnya.
Sebab kata Trubus, sistem tarif cukai rokok yang berbeda-beda akan menjadi celah bagi perusahaan rokok untuk menghindari kewajiban membayar cukai sesuai golongannya.
Ia menerangkan berdasar pada konteks Hitung-hitungan KPPU, tarif cukai rokok yang amat beragam itu berpotensi memberikan ruang bagi perusahaan rokok untuk mencari cara agar produksi tahunan tidak mencapai tiga miliar batang pertahun yang berlaku untuk golongan satu.
“Sehingga upaya itu dilakukan agar perusahaan hanya membayar tarif cukai murah yang berlaku untuk golongan dua,” cetusnya.
editor : Mukta