Kedua, tentu saja memberikan batasan, apa dan bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Sebab tidak dapat diingkari, keberadaan Ombudsman di suatu media berarti biaya, walau mungkin tidak besar. Harus ada petunjuk pelaksana, berapa minimal jumlah Ombudsman, bisa dikaitkan dengan skala medianya, satu, tiga, lima? Lalu, ketentuan, siapa saja yang boleh atau tidak boleh, perlu ada batasan misalnya tidak boleh mereka yang ada “bau-bau” politiknya.
Yang juga penting diatur agar efektif, tidak boleh seorang Ombudsman merangkap jabatan yang sama di media lain atau bahkan di satu grup. Agar dia dapat fokus menjalankan peranannya, sebab mencatat atau mengevaluasi belasan berita perhari, ratusan berita per bulan, bukan hal yang mudah. Ini semestinya kegiatan pribadi, tidak bisa diwakilkan pada asisten atau staf, karena membaca berita adalah peristiwa “mengalami” dan “merasakan”. Ada ikatan emosional.
Ketiga, agar ditekankan bahwa tidak boleh rangkap kedudukan Ombudsman dan Kuasa Hukum karena fungsinya berbeda dan juga tekanan pada pekerjaan yang harus dilakukan. Yang satu bersifat ke dalam, internal pengelola media, sedangkan kedua untuk ke luar, berhadapan dengan masyarakat yang tidak puas atau pemberitaan. Atau kalau kasusnya berlanjut, kuasa hukum media akan menyiapkan argumentasi berbekal UU 40/1999 untuk menghadapi pengacara dari pengadu atau penggugat yang ingin menjadikannya kasus pidana dan perdata.
Hal ini memang agak berbeda dengan di luar sana. Di The New York Times, misalnya, kuasa hukum media malah sering menjadi konsultan atas berita yang hendak diturunkan. Dalam bukunya The Truth in Our Times, David E. McGraw, menuliskan bagaimana dia kerap ditanya editor ataupun wartawan, tentang risiko somasi atau pidana berita yang diperkirakan “menyerempet bahaya”. Lalu dia memberi saran dan jalan keluar, untuk menghindari risiko.
Penulis Hendry CH Bangun
Mantan Sekretaris Dewan Pers