Oleh : Prof Trubus Rahardiansyah
Rencana Presiden Republik Indonesia (RI) Ir H Joko Widodo untuk menjalankan 5 program kerja utama pemerintah untuk lima tahun kedepan yang salah satunya adalah program Omnibus Law banyak menuai komentar dari para pengamat dan ahli di berbagai lembaga.
Pengamat Kebijakan Publik, Universitas Trisakti, Jakarta, Profesor Trubus Rahardian mengatakan selama masa pemerintahan Jokowi-JK, terjadi hiper regulasi dimana lembaga eksekutif menerbitkan lebih dari 8.000 peraturan presiden, peraturan pemerintah, hingga peraturan menteri. Hiper regulasi ini dapat menyebabkan hukum di Indonesia semakin tumpang tindih dan tidak efektif.
“Rencana ini bisa jadi merupakan usaha Jokowi untuk “menebus dosa” dirinya serta kabinetnya lima tahun ke belakang di bidang hukum,” bebernya kepada wartaniaga.com, Jumat (25/10).
Profesor Trubus menjelaskan secara etiomologi, omnibus law berasal dari kata Bahasa Latin omnibus yang berarti semua atau untuk semua. Sementara menurut Marc Bosc and André Gagnon, omnibus law adalah suatu hukum yang bertujuan untuk mengamandemen, mencabut, atau menetapkan secara sekaligus beberapa hukum. Omnibus law terdiri atas beberapa inisiatif (aturan) terkait yang sebelumnya terpisah.
“Tujuannya, adalah untuk menyederhanakan, memotong, dan memangkas regulasi yang dilihatnya sebagai kendala ekonomi,” ungkapnya.
Menurutnya, Praktik omnibus law ini sendiri belum pernah hadir dalam dunia hukum Indonesia, namun sudah dipraktikkan di beberapa negara lain seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, dan Australia yang – menurut World Bank – digunakan secara efektif.
Ia melanjutkan, banyak pihak menilai bahwa Indonesia memiliki terlalu banyak regulasi, bahkan data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), saat ini Indonesia memiliki 42.688 regulasi mulai dari aturan di tingkat pusat seperti UU, hingga di level daerah seperti daerah (Perda).
“Kondisi ini membuat pemerintah sendiri mengakui bahwa Indonesia mengalami “obesitas” regulasi,” kata Profesor Trubus.
Ia menegaskan Obesitas regulasi ini kemudian berdampak negatif salah satunya terhadap perekonomian Indonesia, yaitu terhambatnya pertumbuhan ekonomi.
Profesor Trubus menceritakan pada debat pertama Pilpres 2019 lalu, Jokowi memang sudah mengumumkan niatnya tersebut dengan mengatakan bahwa di periode pemerintahannya yang kedua ia akan membentuk Badan atau Pusat Legislasi Nasional.
“Rencana ini pun disambut baik oleh sebagian pihak, seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan Setara Institute,” ujarnya.
Sementara itu, kembali ke Omnibus Law, Trubus berpendapat Hiper regulasi ini juga nampaknya bertentangan dengan kebijakan reformasi hukum Jokowi dalam periode pemerintahannya yang pertama, di mana penataan regulasi menjadi salah satu prioritasnya.
Kemudian saat ditanya apakah omnibus law ini akan terwujud? , Profesor Trubus menjawab seperti produk UU pada umumnya, omnibus lawmembutuhkan dukungan dan persetujuan dari DPR. Dukungan ini tidak akan lepas dari bagaimana hubungan sang presiden dengan DPR ke depannya.
“Sejauh ini, belum ada pihak yang kontra terhadap rencana Jokowi. Justru berbagai pihak mendukung omnibus lawmasuk dalam program legislasi nasional,” ucapnya.
Profesor Trubus menambahkan Terakhir, omnibus Law bukanlah “obat ajaib” yang dapat menyembuhkan semua penyakit perekonomian Indonesia, Menurutnya masih ada hambatan lain seperti institusi, korupsi, ego sektoral, hingga penyerapan teknologi dan kualitas tenaga kerja.
“Pun pertumbuhan ekonomi akan sangat bergantung pada siapa yang menduduki kursi-kursi menteri terkait ekonomi untuk lima tahun ke depan,” pungkas Trubus.
Editor : Mukta