Cegah Anjlok, Jangan Sampai IPM Hanya Angka Semata

akademisi dari Universitas Trisakti Jakarta

Wartaniaga.com, Jakarta – Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang meningkat beberapa waktu terakhir ini ternyata banyak menuai komentar dari beberapa ahli, salah satunya akademisi dari Universitas Trisakti Jakarta, Profesor Trubus Rahardiansyah yang menganggap glorifikasi angka semata tentu bukan hal yang dibutuhkan.

Menurutnya, bagaimanapun keberhasilan pemerintah, apresiasi tidak boleh menyilaukan pandangan dari sederet catatan yang ada. Terlebih, sesuai pemaparan Kepala Perwakilan UNDP Indonesia, Christophe Bahuet, perubahan status itu merupakan hal yang lumrah karena sesuai tren pergerakan IPM Indonesia selama tiga dekade.

“Artinya, keberhasilan ini merupakan hasil kerja panjang. Keberhasilan pemerintah saat ini berjalan di trek yang sudah ada,” katanya.

Ia menjelaskan, dalam kondisi gejolak ekonomi yang terus berlanjut, tantangan selanjutnya ialah soal menjaga pencapaian IPM, bahkan terus meningkatkannya. “Tantangan ini tentunya hanya bisa dijawab jika catatan yang tadi disinggung diatasi segera,” paparnya.

Akademisi angkat bicara mengenai IPM

Profesor Trubus berasumsi, salah satu yang krusial ialah faktor ketimpangan. Bahkan, ia nilai ketimpangan ini dimasukkan, nilai IPM Indonesia anjlok 17,4%. Meski ketimpangan bukan hal asing, nilai anjlok sebesar itu ialah hal tidak umum.

Lanjutnya, Negara-negara Asia Timur dan Pasifik pun hanya mengalami penurunan nilai 16,6%. Membandingkan lebih jauh dengan kelompok negara itu pun bisa membuat muka kita lebih merah. Nilai rata-rata IPM mereka sudah 0,750. Pun jika mendedah di sesama negara ASEAN, “kita kalah jauh dari Filipina yang berada di peringkat 106,” terangnya.

Pengamat Kebijakan Publik ini menjelaskan ketimpangan juga sudah termuat dalam IPM Indonesia yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus lalu. Capaian IPM tertinggi ditempati Provinsi DKI Jakarta dengan IPM sebesar 80,47, sedangkan capaian terendah ditempati Provinsi Papua dengan IPM sebesar 60,06.

“Dari situ, tidak terbantahkan pembangunan Jawasentris menjadi biang keroknya. Dalam pemerintahan, Presiden Joko Widodo memang telah menggenjot pembangunan di Indonesia Timur. Meski begitu, cukupkah ini untuk menepis ketimpangan?,” ia mempertanyakan.

Trubus menjawab, bicara soal pendidikan, infrastruktur jelas tidak cukup. Lihat saja potret yang terjadi di banyak wilayah terpencil. Pendidikan mandek bukan saja karena bangunan sekolah tidak layak, melainkan lebih lagi karena tidak ada guru yang mengajar.

Trubus menceritakan. Bahkan ironisnya, seperti penuturan sesorang guru muda di wilayah terpencil Mappi, Papua, sebelum ada program inisiatif dari Bupati Mappi, guru tidak jarang meninggalkan proses pembelajaran karena harus menyambung hidup dengan mencari makan ke hutan.

“Meningkatkan IPM berarti tidak hanya meredistribusi guru, tetapi juga merawat mereka. Lewat merekalah negara bisa hadir hingga di pedalaman yang tidak mungkin dijangkau pembangunan jalan,” ujarnya.

Menurutnya, semestinya pesan ini ditangkap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Kemarin, Nadiem telah membuat gebrakan dengan menetapkan empat pokok kebijakan yang disebut Merdeka Belajar.

“Selain menetapkan kebijakan baru USBN, yakni dengan ujian oleh sekolah mulai 2020, Nadiem menyatakan akan meredistribusi guru. Peningkatan kapasitas guru dan sekolah akan dilakukan dengan pengalihan anggaran USBN tadi,” sebutnya.

“Kebijakan ini jelas perlu dijabarkan lebih detail. Meski begitu, arahnya untuk lebih mengapresiasi nalar dan karakter anak ketimbang penyeragaman yang mengikuti standar pusat. Revolusi pendidikan seperti itulah yang memang sudah lama kita butuhkan,” tambahnya.

Ia menambahkan, ibarat trek menuju peningkatan IPM, inilah tangga yang membuat kita bisa naik kelas, “Tinggal selanjutnya ada komitmen menerapkan dan menyiapkan segala daya dukung sehingga bukan menjadi kebijakan yang berganti lagi di 5 tahun mendatang,” tutupnya.

Editor : Tim WN

Pos terkait

banner 468x60