Wartaniaga.com, Banjarmasin- Lembaga Studi Dayak-21 menghelat acara Focus Group Discussion (FGD) dalam upaya melacak jejak tengkorak Demang Lehman di ruang Madonna, Fave Hotel Banjarmasin, Jalan Jenderal Achmad Yani, Kilometer 2, Banjarmasin, Jum’at (19/3).
Menghadirkan sembilan ahli di antaranya, yakni Marko Mahin (Antropolog), M. Z Arifin Anis (Sejarawan), Nasrullah (Antropolog kajian Dayak Bakumpai dan Banjar), Prof Rizali Hadi (Peneliti Dayak-Ngaju), Setia Budhi (Antropolog, Zuriat Tumenggung Surapati), Taufik Arbain (Kesultanan Banjar), Wajidi (Sejarawan), Mansyur (Sejarawan), Irfan Noor (Peneliti UIN Antasari) dan Alexandra Binti (Sejarawan).
Mansyur memantik sejarah tentang Demang Lehman dari aspek silsilah (keturunan), teritorial (wilayah) dan beberapa kajian antropolog-sosiolog, serta post kolonialisme pada era perang Banjar di tahun 1859-1862. Fakta yang menyebutkan dipancung,
Mansyur meragukan data yang ditelaahnya selama ini. Ia mengakui, kurangnya literatur yang benar-benar secara historis menyebutkan sejarah tersebut.
“Sebenarnya saya masih meragukan fakta yang menyebutkan kepala Demang Lehman dipancung. Data selama ini yang didapatkan dari buku-buku, dan temuan itu merupakan sumber-sumber lisan dari masyarakat. Fakta yang kita dapatkan masih rujukan sekunder, belum menandakan kebenarannya,” ucap sejarawan Mansyur.
Ia mengungkapkan, identitas asli bernama Demang Lehman adalah Idies. Demang Lehman mendapat gelar sebagai Adhipattie Mangko Nagara. Perintah penangkapan Demang Lehman ini, kata Mansyur, sekitar awal bulan Februari tahun 1862, “Sewaktu ditangkap masih berusia muda, 30 tahun,” ujarnya.