Wartaniaga.com, Banjarmasin- Sudah hampir 3 jam Hj Saimah duduk di serambi belakang rumahnya sambil menganyam daun Nipah untuk dijadikan Tanggui. Pekerjaan yang dilakoninya sejak lebih dari 50 tahun lalu.
Tanggui merupakan topi khas suku Banjar yang sudah ratusan tahun mereka gunakan untuk aktivitas pergi ke sawah, nelayan bahkan berjualan di pasar Terapung.
Bersama puluhan ibu-ibu di kawasan Kuin Cerucuk Banjarmasin, Hj Saimah tekun pada profesi ini. Bukan tanpa alasan, meski di tengah modernisasi, puluhan jenis topi dan penutup kepala ada tetapi Tanggui tetap jadi yang disuka.
Buktinya, Tanggui produksi mereka tak kehilangan pasar. Setidaknya pesanan ratusan Tanggui harus mereka kerjakan setiap minggunya.
” Setiap minggu kami harus menyediakan 10 hingga 15 kodi Tanggui, 1 kodi 10 buah. Pengepul datang dengan membawa pick up untuk di bawa ke Pahuluan,” ujarnya kepada Wartaniaga.com.
Dikatakannya pembeli Tanggui banyak dari luar kota Banjarmasin, seperti Nagara kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Amuntai, Kapuas, Barabai, Kandangan dan berbagai kota di Banua Anam.
Tanggui masih banyak dipakai di kota-kota itu karena umumnya masyarakat di sana banyak berprofesi sebagai petani yang kesehariannya menggunakan Tanggui untuk tutup kepala.
Selain murah, Tanggui juga tahan lama. Bertahun-tahun penutup kepala yang satu ini baru rusak.
Bukan iu saja, selain melindungi dari panas matahari, Tanggui juga tahan air sehingga saat hujan ia juga bisa berfungsi seperti payung.
Tanggui produksi masyarakat Kuin Cerucuk ini sudah dikenal hampir seantero Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah. Alasannya karena kualitas yang dimilikinya, kuat dan tahan lama, mengingat bahan baku yang digunakan juga kualitas baik.
“ Daun nipah yang kami gunakan yang bagus, benar-benar kering serta jahitannya juga harus rapi dan rapat,” teang wanita berusia 68 tahun ini.
Harga jual mereka kepada pengepul Rp 20 ribu perbuah Tanggui untuk ukuran sedang.