Wartaniaga.com, Jakarta – Menteri BUMN, Erick Thohir dipastikan bakal bekerja sangat keras selama menjabat di Kabinet Indonesia Maju. Pasalnya, bukan hanya perkara sumber daya manusia (SDM) yang harus dibenahi, utang BUMN yang terus menggunung jadi pekerjaan besar baginya.
Hal ini disampaikan oleh, Profesor Trubus Rahardiansyah selaku pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Jakarta, ia mengutip data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri BUMN RI pada akhir triwulan III 2019 tercatat sebesar 395,6 miliar dolar AS. Terdiri dari ULN publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 197,1 miliar dolar AS, serta ULN swasta (termasuk BUMN) sebesar 198,5 miliar dolar AS.
Kebijakan Presiden Joko Widodo Berpartisipasi Dalam Program Pembangunan Infrastruktur
“Utang BUMN yang besar saat ini sebagai akibat BUMN didorong oleh kebijakan presiden Joko Widodo untuk masuk berpartisipasi dalam program pembangunan infrastruktur di lima tahun yang telah lalu,” kata Profesor Trubus kepada wartaniaga.com, Rabu (20/11).
Lanjutnya, akibat dari hal itu, BUMN di Indonesia menunjukkan outlook utang yang mengkhawatirkan dan menyebabkan adanya risiko kontijensi. Antara lain rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER), kemampuan bayar utang (interest coverage rasio/ICR), rasio balik modal (retun on equity/ROE), serta persentase utang terhadap PDB BUMN.
Profesor Trubus menyebut berdasarkan data yg ada, utang luar negeri BUMN Indonesia hingga Juli 2019 mencapai 52,8 miliar dolar AS. Sementara berdasarkan data Moody’s, utang BUMN Indonesia sudah mengkhawatirkan dan bisa berdampak kepada muculnya resiko kontijensi atau ketidakpastian untuk RI.
Utang BUMN Menduduki Posisi Teratas akibat Program Pembangunan Infrastruktur Oleh Pemerintah
“Coba kita lihat, beberapa laporan keuangan BUMN Indonesia pun mendapat sorotan. Antara lain PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), dan PT Indofarma Tbk (INAF),” bebernya.
Ia menambahkan, masih berdasar data, pertumbuhan utang BUMN yang menduduki posisi teratas adalah PT Waskita Karya yang awalnya hanya Rp 9,7 triliun pada 2014, pada akhir Juni 2019 melesat hingga Rp 103,7 triliun atau naik 970 persen dalam lima tahun. “ Ini akibat program pembangunan infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah,” tegasnya.
Bahkan ia mengungkapkan pada sektor perbankan pun tak kalah buruk. Bank BUMN seperti Bank BTN utangnya dalam lima tahun terakhir mencapai 287,8 triliun atau naik sebanyak 117,4 persen dari akhir 2014. Hal ini disebabkan NPL yang tinggi akibat macetnya kredit perumahan bersubsidi yang jadi program Pemerintah.
Berbeda dengan emiten batu bara, PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Dalam periode yang sama total kewajiban perusahaan hanya naik 16,6 persen. Dari Rp 6,1 triliun pada 2014 menjadi Rp 7,2 triliun di paruh pertama tahun ini.
“Oleh karena itu banyak pihak mengkhawatirkan program-program infrastruktur pemerintah akan menyebabkan utang BUMN menumpuk, dan pada gilirannya akan beresiko gagal bayar,” pungkasnya.
Editor : Muhammad Zahidi
Foto : Ist