Wartaniaga.com, Jakarta – lagi lagi perekonomian Indonesia sedang mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, baik itu masyarakat, akademisi, pengamat hingga mahasiswa, terlebih untuk soal kebijakan pemerintah yang sedang mencari pinjaman guna memenuhi target pembiayaan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
Pengamat ekonom dan ahli kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Jakarta, Professor Trubus Rahardiansyah mengungkapkan sebagaimana dirilis oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan bahwa pemerintah kembali mencari pinjaman sebesar Rp 15 triliun melalui lelang Surat Utang Negara (SUN).
“Lelang ini rencananya digunakan untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN,” ungkap Trubus kepada wartaniaga.com, Minggu (13/10).
Padahal menurut Professor Trubus, pinjaman melalui lelang SUN saat ini merupakan yang kesekian kalinya dilakukan pada tahun 2019, Bahkan Ia membeberkan jadwal jatuh temponya mulai dari 6 Januari 2020 hingga 15 Mei 2048.
Professor Trubus memaparkan mekanisme dan prosedur Lelang dilaksanakan dengan menggunakan sistem pelelangan oleh Bank Indonesia yang bertindak langsung sebagai agen lelang. Lelang ini diselenggarakan secara terbuka dan dengan metode beragam.
“Untuk itu semua pihak, baik investor individu maupun institusi, dapat menyampaikan penawaran lelang melalui peserta yang sudah disetujui Kementerian Keuangan,” bebernya.
Sementara kata Trubus, Bila dilihat dari kinerja APBN sampai dengan Agustus 2019, pertumbuhan belanja negara mencapai 7% . Tetapi disisi lain pertumbuhan penerimaan negara tidak bisa mengejar pertumbuhan belanja, karena pertumbuhan penerimaan negara hanya mencapai 3%.
“Kondisi ini akhirnya berdampak pada melebarnya defisit anggaran sampai dengan Rp 199 triliun, lebih besar dibandingkan defisit anggaran pada periode yang sama tahun lalu yaitu Rp 151 triliun,” ujar Trubus.
Ia memastikan langkah yang ditempuh pemerintah pada akhirnya adalah mengeluarkan kebijakan, yakni dengan menerbitkan surat utang untuk menutup pembiayaan yang tidak bisa disediakan oleh pos penerimaan negara.
“Hal ini tentunya disebabkan oleh karena faktor ekonomi global dan domestik yang terus fluktuatif,” tutup Trubus.
Editor : Mukta
Foto : Ist