Cabai Hiyung: Pedas 17 Kali Lipat, Menghidupi Harapan dari Tapin

Junaidi saat menunjukkan hasil pengolahan Cabai Hiyung dalam suatu acara (Foto: EDH)

Wartaniaga.com, Rantau – Di tengah hamparan tanah gersang saat kemarau, di sebuah desa bernama Hiyung, tumbuh tanaman kecil berwarna merah menyala yang menjadi denyut nadi kehidupan warganya. Cabai Hiyung—pedasnya 17 kali lipat dibanding cabai biasa—bukan sekadar bumbu penyedap, melainkan simbol keteguhan hati, pengikat persaudaraan, dan sumber penghidupan ribuan orang.

Di lahan seluas 115 hektare, warga memeras keringat setiap hari. Mereka menunduk di bawah terik matahari, memeriksa daun demi daun, memastikan cabai itu tetap hidup di tengah ancaman hama, penyakit, dan musim kering.

Junaidi, penggerak Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang menjadi ujung tombak usaha ini, tahu betul bahwa setiap panen bukan hanya soal harga, tapi soal harapan yang bertahan, Jum’at (15/8).

“Anak-anak muda di desa ini yang urus penjualan online. Mereka bangga, karena ini bukan sekadar barang dagangan—ini warisan dari tanah yang mereka pijak sejak lahir,” tutur Junaidi.

Ketua Kelompok Tani Karya Baru Junaidi di stand UMKM binaan Bank Indonesia Provinsi Kalsel (foto : EDH)

Pernah, harapan besar mengetuk pintu. Sebuah perusahaan raksasa menawarkan kerja sama memasok dua ton cabai segar setiap bulan.

Tapi mimpi itu kandas, Junaidi hanya mampu memenuhi separuhnya. Tahun lalu, peluang lain datang dari perusahaan sambal ternama yang memesan puluhan kilogram cabai kering. Bagi Junaidi, itu bukan sekadar angka, tapi pintu kecil menuju pasar yang lebih luas.

Namun, di balik cerita pedas ini, getir tak bisa dihindari. Penyakit antrak kerap merontokkan daun dan buah. Kebakaran lahan di musim kering melahap sebagian hasil panen.

Modal terbatas membuat banyak warga hanya bisa bermimpi ikut menanam. Meski begitu, Junaidi tetap menatap ke depan.

“Selama orang Indonesia masih makan sambal, Cabai Hiyung akan terus hidup,” ucapnya penuh keyakinan.

Kini, ia berharap uluran tangan pemerintah—lahan, bibit, pupuk, dan modal—agar lebih banyak warga bisa ikut berjuang.

Karena bagi mereka, cabai ini bukan sekadar soal rasa, tapi tentang masa depan desa. Tentang generasi yang ingin tetap tinggal di tanah kelahiran, membuktikan bahwa dari sebuah desa kecil di Tapin, rasa pedas bisa membawa nama harum hingga ke dunia.

Editor : Eddy Dharmawan

Pos terkait