Konsep Meaningful Participation dan Progresive Law dalam Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang Menghasilkan Perundang yang Berkeadilan

Wartaniaga.com,Dalam minggu ini ada dua issue penting dalam dunia Hukum Kesehatan yaitu mulai tanggal 18 September 2023 diadakan kegiatan Public Hearing yang dilakukan kementerian Kesehatan dalam rangka pembuatan aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah.

Isue yang tidak kalah penting adalah bahwa pada tanggal 19 September 2023 lima Organisasi Profesi Kesehatan yaitu IDI, PDGI, IAI, PPNI, IBI kompak mengajukan judicial review ke MK untuk dilakukan permohonan uji formil UU17 tahun 2023 karena dinilai bahwa proses pembentukan UU KES 17 tahun 2023 ini tidak tidak ada keterlibatan dan partisipasi publik yang substansial (detikhealth,19sep2023).

Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu hal yang bersifat penting dan krusial. Sebab rakyat memiliki hak untuk melakukan kontrol terhadap penguasa serta menghendaki terciptanya hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu, pada hakikatnya dalam perumusan suatu hukum dan kebijakan harus melibatkan masyarakat sebagai pihak yang akan menerima dampak keberlakuan hukum dan kebijakan. Namun, pada kenyataannya sebagai salah satu aktor pembentuk undang-undang sekaligus representasi masyarakat, DPR dan Presiden acap kali mengambil kebijakan dan membentuk undang-undang yang tidak sesuai dengan kepentingan konstituen.

Hal tersebut disebabkan oleh ketiadaan konsekuensi bagi DPR terhadap ketidaksesuaian kebijakan dan pembentukan undang-undang dengan kebutuhan
masyarakat. Partisipasi pembentukan undang-undang tidak hanya dapat mengandalkan peran DPR, sebab pada kenyataannya seringkali kepentingan rakyat hanya digunakan sebagai manuver politik untuk memastikan eksistensi dan kepentingan dirinya sendiri dan/atau kelompoknya. Oleh karena itu, pada negara yang menerapkan demokrasi, dalam penyelenggaraan negara seyogyanya didasari dengan prinsip partisipatif. Melalui partisipasi masyarakat diharapkan dapat menjadi sarana penyaluran aspirasi, pelibatan masyarakat dalam pembentukan kebijakan publik, antisipasi abuse of power yang dilakukan oleh pejabat, serta manifestasi penegakkan kedaulatan rakyat.

Dr dr Abd. Halim SpPD SH MH MM
Dosen Hukum Kesehatan Pasca MM RS ARS University Bandung
Founder Firma Hukum Idaman Justitia

Pada dasarnya UUD NRI 1945 tidak mengatur maupun menjelaskan secara eksplisit mengenai partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Namun, melalui kehendak Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menghendaki pemberian hak bagi tiap orang untuk turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan memajukan dirinya untuk memperjuangkan hak kolektif dengan intensi membangun bangsa dan negara. Kemudian melalui UndangUndang Nomor 12 tahun 2011 yang ubah dengan UU 15 tahun 2019 dan perubahan kedua dengan UU 13 tahun 2022 pada pasal 96 sangat jelas pengaturan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Hukum progresif merupakan pemikiran perkembangan hukum yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, berpandangan bahwa hukum dibentuk untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Dasar pemikiran beliau bahwa kajian hukum saat ini telah mencapai ekologi dalam yang mendasar pada pemikiran antroposentrisme. Suatu faham yang berpusat pada manusia sehingga manusia dianggap memiliki kemampuan cipta, rasa, bahasa, karya, dan karsa sebatas diizinkan oleh Sang Kholiq. Hukum progresif memahami konsep keadilan sebagai hukum yang benar-benar memperhatikan sumber-sumber hukum yang baru untuk tercapainya keadilan.

Dalam rangkaian pembentukan undang-undang demi mencapai kesepakatan dalam kompromi politik, sangat dimungkinkan pembentuk undang-undang tidak melaksanakan aturan mengenai partisipasi masyarakat dengan sebagaimana mestinya.

Akibatnya, terdapat beberapa pihak mendelegitimasi undang-undang yang terbentuk, sebab undangundang yang terbentuk dianggap memiliki kecacatan proses. Alhasil berbagai pihak melakukan upaya hukum yakni judicial review yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi.

Dalam memastikan terselenggaranya partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) setidaknya terdapat tiga kriteria yang wajib terpenuhi
diantaranya: pertama, hak untuk didengarkannya pendapatnya (right to be heard), kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan ketiga, hak untuk mendapatkan tanggapan atau penjelasan terhadap pendapat yang telah diberikan (right to be explained). Lebih lanjut, partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dapat harus dilakukan setidaknya pada tiga tahapan diantaranya yakni pertama, pengajuan RUU. Kedua, pembahasan bersama undang-undang oleh Presiden dan DPR, pembahasan bersama undang-undang oleh Presiden, DPR, dan DPD. Ketiga, persetujuan bersama undang-undang antara Presiden dan DPR.

Konsep meaningful participation dalam pertimbangan hakim di Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 adalah sedikit banyak diakomodir dalam UU 13 tahun 2022. Dalam
UU tersebut terdapat beberapa perubahan salah satunya Pasal 96 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat/publik. Perubahan yang dimaksud cukup signifikan yaitu yang awalnya dalam Pasal 96 UU 12 / 2011 hanya memiliki 4 buah ayat, kemudian diubah dalam Pasal 96 UU 13/2022 menjadi 9 buah ayat. Garis besar perubahan Pasal 96 adalah merinci nomenklatur pada 4 ayat asli dan penambahan mekanisme lanjutan dalam 5 ayat baru.

Pasal 96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dan/atau luring. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. (5) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundangundangan menginformasikan kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. (6) Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundangundangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. seminar, lokakarya, diskusi; dan/ atau d. kegiatan konsultasi publik lainnya. (7) Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (8) Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1).

Apabila dicermati pada hakikatnya pengaturan partisipasi masyarakat dalam UU P3 dapat dimaknai hanya memberikan hak kepada masyarakat untuk memberikan
masukan/saran melalui beberapa agenda dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, pengaturan tersebut tidak memberikan kewajiban kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjuti masukan/saran sebagai bentuk partisipasi masyarakat. Kemudian berdasarkan teorinya Sherry R. Arnstein mengemukakan bahwa tahapan partisipasi Indonesia berada pada tahapan consultation.

Peraturan perundang-undangan telah menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat untuk memberikan masukan atau saran dalam pembentukan undang-undang. Namun, dapat dipastikan tidak ada jaminan bahwa masukan atau saran tersebut akan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan akhir pembentukan peraturan perundang-undangan. Belum lagi, tidak terdapat jaminan bahwa masyarakat yang turut serta dalam partisipasi pembentukan undang-undang merupakan pihak yang berkepentingan terhadap pemberlakuan undang-undang tersebut. Sehingga, tidak dapat dimungkiri bahwa berbagai agenda yang diselenggarakan para pembentuk undangundang yang melibatkan partisipasi masyarakat hanya sebatas memenuhi ketentuan formal prosedural.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, mahkamah menghendaki aktualisasi konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful
participation) sebagai bentuk pemenuhan asas keterbukaan dalam pembentukan perundang-undangan, serta realisasi kehendak pasal 22A UUD NRI Tahun 1945. Hal tersebut tidak terlepas dengan peran Mahkamahkonstituisi sebagai negative legislator yang memiliki sifat putusan erga omnes yang berarti bahwa para pihak secara perorangan maupun lembaga negara terikat terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Aktuliasasi konsep tersebut dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu: pengaturan dalam taraf undang-undang dengan merevisi UU P3 dan melaksanakannya sebagai praktik konvensi ketatanegaraan.

Pengaturan partisipasi masyarakat dalam UU P3 masih belum memenuhi tiga kriteria, yakni right to be heard, right to be considered, dan right to be explained. Untuk
menerapkan konsep meaningful participation tersebut perlu ditindaklanjuti dengan memasukkannya dalam rencana perubahan RUU P3. Hal inidilakukan untuk melengkapi pengaturan partisipasi masyarakat dan juga memberikan parameter yang jelas terhadap konsep meaningful participation.

Selanjutnya, ketika pembentuk peraturan enggan memasukkan konsep meaningful participation dalam revisi UU P3, maka ada satu cara lain agar konsep tersebut dapat
diterapkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Cara tersebut adalah dengan cara memasukkan konsep meaningful participation sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan. Artinya, meskipun tidak dimasukkan ke dalam norma peraturan perundang-undangan, telah terjadi persetujuan yang dinyatakan (express agreement) antara DPR dan Presiden untuk mempraktikkan konsep meaningful participation. Dengan demikian, DPR dan Presiden dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus menerapkan 3 (tiga) kriteria partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation).

Sebab dari ketiga kriteria yang diberikan hanya satu kriteria yang telah dilaksanakan dan terpenuhi yakni didengarkan pendapatnya (right to be heard). Sedangkan, kedua kriteria lainnya, yaitu dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan mendapatkan tanggapan atau penjelasan terhadap pendapat yang telah diberikan (right to be explained) belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, sebagai upaya aktualisasi konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya dilakukan pengaturan secara eksplisit mengenai hal tersebut dalam UU P3 atau melalui praktik konvensi ketatanegaraan. Kedua cara tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan aktualisasi konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan melalui adanya jaminan pertimbangan dan timbal balik masukan atau saran yang telah diajukan oleh masyarakat terhadap pembentuk undang-undang. Aktuliasasi konsep tersebut dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu: pengaturan dalam taraf undang-undang dengan merevisi UU P3 dan melaksanakannya sebagai praktik konvensi ketatanegaraan. Pengaturan partisipasi masyarakat dalam UU P3 masih belum memenuhi tiga kriteria, yakni right to be heard, right to be considered, dan right to be explained. Untuk menerapkan konsep meaningful participation tersebut perlu ditindaklanjuti dengan memasukkannya dalam rencana perubahan RUU P3.

Hal inidilakukan untuk melengkapi pengaturan partisipasi masyarakat dan juga memberikan parameter yang jelas terhadap konsep meaningful participation. Selanjutnya, ketika pembentuk peraturan enggan memasukkan konsep meaningful participation dalam revisi UU P3, maka ada satu cara lain agar konsep tersebut dapat diterapkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Cara tersebut adalah dengan cara memasukkan konsep meaningful participation sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan.

Artinya, meskipun tidak dimasukkan ke dalam norma peraturan perundang-undangan, telah terjadi persetujuan yang dinyatakan (express agreement) antara DPR dan Presiden untuk mempraktikkan konsep meaningful participation. Dengan demikian, DPR dan Presiden dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
menerapkan 3 (tiga) kriteria partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation).

Sebab dari ketiga kriteria yang diberikan hanya satu kriteria yang telah dilaksanakan dan terpenuhi yakni didengarkan pendapatnya (right to be heard). Sedangkan, kedua kriteria lainnya, yaitu dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan mendapatkan tanggapan atau penjelasan terhadap pendapat yang telah
diberikan (right to be explained) belum dapat dilaksanakan secara optimal.

Oleh karena itu, sebagai upaya aktualisasi konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya dilakukan pengaturan secara eksplisit mengenai hal tersebut dalam UU P3 atau melalui praktik konvensi ketatanegaraan. Kedua cara tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan aktualisasi konsep partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan melalui adanya jaminan pertimbangan dan timbal balik masukan atau saran yang telah diajukan oleh masyarakat terhadap pembentuk undang-undang.

 

Oleh : Dr dr Abd. Halim SpPD SH MH MM
Dosen Hukum Kesehatan Pasca MM RS ARS University Bandung
Founder Firma Hukum Idaman Justitia

Pos terkait

banner 468x60