“Kami juga terus melihat kemampuan menjaga risiko dari perlambatan ekonomi negara maju,” kata Sri.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, sebelumnya mengungkapkan ancaman resesi global semakin terasa bagi pelaku usaha, khususnya berupa penurunan ekspor.
Bahkan ia menilai penurunan ekspor komoditas tekstil akan terjadi lebih parah pada 2023. Situasi itu tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan pada negara-negara eksportir produk tekstil terbesar lainnya seperti Cina, Bangladesh, Vietnam, dan India.
Di samping itu, pelemahan daya beli di Eropa dan Amerika Serikat memicu kenaikan impor produk tekstil ke Indonesia. Sehingga terjadi daya saing yang ketat di dalam negeri.
“Cina, Bangladesh, Vietnam, India, mencoba membanjiri produknya ke sini karena Indonesia merupakan negara dengan populasi keempat terbesar dan inflasinya tidak separah negara lainnya,” kata Jemmy.
Dengan begitu, permintaan ekspor yang menurun itu diperparah dengan banjir produk impor di dalam negeri. Gangguan itu menurutnya membuat utilisasi industri tekstil menurun tajam. Dampaknya, terjadi pengurangan jam kerja karyawan yang akhirnya memicu pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Ia berharap Indonesia harus bisa menjaga pasar dalam negeri dari produk-produk impor. Sehingga, produk ekspor Indonesia bisa dialihkan ke pasar domestik. “Perlindungan pasar dalam negeri sangat dibutuhkan,” kata dia.
Editor : Martinus




















