“Masalahnya menurut kami, ini kegagapan atau kegagalan dari pemerintah kita, khususnya disnaker dalam mengantisipasi corona virus ini,” kata Sunarno, Kamis (30/4) malam.
Meski tak berharap bantuan langsung, namun dia menyoroti ketidakhadiran pemerintah sebagai pihak penengah antara buruh dan pengusaha, khususnya dalam mencari solusi terhadap masalah yang timbul akibat pandemi Covid-19
“Nggak ada titik temu, biasanya (mediasi) kan di Disnaker. Tapi saat ini sulit untuk ketemu dengan Disnaker karena mereka bekerja dari rumah dan kalau ada itu hanya piket misalnya,” kata dia.
Situasi itu berakibat pada lambatnya penanganan masalah. Ujung-ujungnyay perusahaan melakukan PHK secara sepihak.
Ancaman Omnibus Law
Ancaman terhadap buruh bukan hanya datang dari PHK dampak pandemi corona, lanjut Sunarno, tetapi juga Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Pemerintah maupun DPR sejauh ini masih bersikeras membahas Omnibus Law di tengah situasi negara menghadapi pandemi virus corona. Meski Presiden Jokowi dan Ketua DPR Puan Maharani sepakat menunda pembahasan, bukan berarti ancaman Omnibus Law selesai.
“Kami itu menuntut Omnibus Law (RUU Ciptaker) itu dibatalkan secara keseluruhan,” kata Sunarno.
Menurut dia, RUU Cipta Kerja tidak menyentuh sejumlah persoalan prinsip yang dihadapi buruh saat ini. Misalnya aturan mengenai sistem pengupahan, kontrak kerja, sanksi, hingga status kepegawaian yang sangat nyata merugikan buruh apabila diubah melalui RUU Cipta Kerja.
“Itu kan yang prinsip di kami. Kalau beberapa persoalan itu diubah, ya buruh akhirnya nggak punya jaminan kepastian bekerja,” lanjut dia.
Diketahui masalah ketenagakerjaan tertuang dalam Bab IV RUU Ciptaker. Isinya terkait perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebelumnya sudah menyoroti banyak hal terkait perubahaan ketentuan yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja.
Salah satunya soal pengupahan. Dia mengkritik perubahan aturan terkait upah minimum. Ia mengatakan dalam draf RUU Ciptaker tak lagi diatur soal upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Penentuan upah minimum hanya berdasarkan upah minimum provinsi (UMP).




















