Catatan Seniman Sulsel Misbah Daeng Bilog di MP2AF#4 Disparpora Kotabaru

Wartaniaga.com, Kotabaru- Langit Desa Sebelimbingan sore itu merayap memerah, menyisakan bias keemasan yang menembus rapatnya kanopi Hutan Meranti. Udara terasa dingin, namun suhu di panggung utama MP2AF yang di dalam Disparpora Kotabaru memancarkan kehangatan gairah yang tak terhingga, Senin (1/12).

Di sana, di antara aroma tanah basah dan resonansi alat musik tradisi, berdirilah seorang pria yang matanya menyimpan kisah panjang tentang perlawanan budaya, Daeng Misbah.

Bukan hanya sebagai seni, tetapi kehadirannya kali ini terasa lebih sakral, ia adalah undangan kehormatan yang kembali ke rahim tempat festival ini dilahirkan.

Daeng Misbah, dengan langkah kakinya yang telah menginjak banyak panggung di luar sana, memilih kembali ke pangkuan Meranti, membawa serta bekal dan harapannya.

Kehadiran Daeng Misbah di Kotabaru tak hanya sebatas menyaksikan euforia panggung. Jauh sebelum tirai penutup diturunkan, ia telah menyibukkan diri di sebuah ruangan sederhana. Di sana, puluhan wajah muda, anak-anak pelajar Kotabaru, menatapnya penuh rasa ingin tahu.

Itulah Workshop Khusus, sesi berbagi ilmu yang didedikasikan untuk menjembatani jurang antara generasi milenial dengan warisan seni tradisi.

Pena dan kertas berhadapan dengan esensi budaya yang kian tergerus oleh derasnya arus digital. Daeng Misbah, dengan suara yang tegas namun teduh, bertutur, membongkar rahasia di balik pertunjukan. Ia tidak hanya mengajar, menularkan semangat.

“Seni tradisi kita, Nak, bukan fosil yang hanya pantas disimpan di museum. Dia harus menjadi nafas yang kalian hirup setiap hari,” pesannya, seolah ia sedang menyuntikkan antibodi budaya ke dalam jiwa-jiwa muda di hadapannya.

Misi pendidikan ini adalah pondasi MP2AF yang sesungguhnya, memastikan bahwa bibit-bibit seni di Banua ini tidak mati kedinginan.

Daeng Misbah memandang panggung alam di Hutan Meranti, tempat MP2AF kini merayakan edisi keempatnya.

“Sayan memilih hadir ke Hutan Meranti karena ingin terlibat membuktikan bahwa desa juga punya potensi seni yang besar,” ungkapnya.

Baginya, festival ini adalah sebuah perlawanan terhadap sentralisasi seni yang selalu memihak kota-kota besar.

“Ini bukan tentang panggung mewah di beton kota, tapi tentang panggung yang menyatu dengan alam,” tegasnya.

MP2AF, yang lahir dari kecintaan yang murni terhadap alam dan budaya, telah berhasil menjadi jangkar bagi seniman lokal dan magnet bagi pegiat seni luar daerah.

Ia menjadi panutan bagi regenerasi seni tradisi di tingkat akar rumput, sebuah upaya konkret untuk menyelamatkan kekayaan tak ternilai.

Kejujuran dan keberanian Daeng Misbah terangkum dalam integrasi tradisi Grebek Kampung dalam festival. Ia memastikan seni dan ritual lokal harus berjalan beriringan dengan pergerakan ekonomi.

“Tantangannya berat, mulai dari pendanaan hingga logistik. Tapi melihat antusiasme anak-anak muda yang kembali mau belajar budaya, dan melihat pelaku ekonomi warga Sebelimbingan bergerak saat festival, itu sudah lebih dari cukup,” tutur Daeng Misbah.

Ia berharap, kerja keras ini menjadi contoh nyata bahwa seni itu bukan sekadar hobi. “Seni itu harus jadi nafas desa, yang menjaga budayanya dan mensejahterakan warganya,” pungkasnya.

Di penghujung hari, ketika suara musik mulai mereda dan peserta workshop selesai, Daeng Misbah berdiri tegak. Ia tahu, benih yang ditaburkan telah tumbuh.

Meranti Putih Perform Art Festival, lebih dari sekadar tontonan, adalah sebuah janji abadi antara manusia, seni, dan alam di Tanah Kotabaru.

Reporter: Anaq.
Editor : Aditya

Pos terkait