Ketupat Menjadi Semacam “MAKANAN SAKRAL” Namun Tidak Dalam Makna Mistik

Syarifuddin, S.Pd, M.Pd Dosen Prodi Pendidikan IPS FKIP ULM

Wartaniaga.com, Banjarmasin- Ketupat menjadi semacam “makanan sakral”, namun tidak dalam makna mistik, melainkan karena keterkaitannya dengan nilai sosial dan religius.

Ketupat melambangkan kesederhanaan, keikhlasan, dan keterbukaan. Dari aspek sosial, pembuatan ketupat selalu melibatkan kerja sama lintas usia dan gender.

Bacaan Lainnya
banner 300x250

Anak-anak membantu memungut janur, remaja belajar menganyam, sementara orang tua menjadi pemandu.

Proses Pembuatan Ketupat di Kampung Ketupat Oleh Masyarakat

Selain itu, pembagian ketupat kepada tamu dan tetangga menjadi bentuk nyata dari solidaritas sosial. Warga yang mampu memasak lebih banyak akan membagikannya kepada yang tidak sempat atau tidak mampu menyiapkan.

Tradisi ketupat Banjar memperlihatkan bagaimana makanan bisa menjadi media penguat hubungan sosial, memperkuat nilai spiritual, sekaligus menjadi simbol warisan budaya yang hidup dan bernafas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Selama ketupat masih ada dalam setiap kegiatan keagamaan dan sosial, maka jalinan harmoni masyarakat Banjar akan tetap terjaga. Seiring waktu, tradisi ini terus diwariskan-bukan karena sekadar enak dimakan, tetapi karena dalam tiap helai janur yang teranyam, tersimpan nilai luhur kebersamaan.

Penting untuk Generasi Muda: Ketupat dan Nilai-Nilai Kehidupan.

Para guru di Kalimantan Selatan mulai memperkenalkan makna ketupat kepada siswa bukan hanya sebagai tradisi kuliner, tetapi juga alat pendidikan karakter.

Nilai-nilai seperti Ketupat menjadi semacam “makanan sakral”, namun tidak dalam makna mistik dibahas dalam pelajaran muatan lokal.

Ketupat mengajarkan kita untuk tidak sombong, karena dibungkus dalam janur yang sederhana, dan dibagikan untuk siapa pun. Ini sangat cocok untuk menanamkan sikap saling menghargai di sekolah.

Sekolah dapat mengadakan praktik membuat ketupat bersama untuk mengenalkan budaya lokal dan meningkatkan rasa cinta terhadap warisan leluhur.

Penulis: Syarifuddin, S.Pd, M.Pd

Pos terkait