Wartaniaga.com, Banjarmasin-Di masa lalu, suasana sawah tak hanya dipenuhi oleh hamparan hijau tanaman padi, tapi juga oleh suara tawa, canda, dan kerja bersama dalam sistem gotong royong.
Kabupaten Tanah Bumbu, khususnya di daerah Pagatan Desa Mudalang dan Manurung Kecamatan Kusan Hilir, tradisi gotong royong menanam dan memanen padi menjadi simbol kuat kebersamaan.

Masyarakat saling membantu menggarap lahan, menanam, hingga memanen padi, tanpa kontrak tertulis, cukup dengan asas kepercayaan dan kebersamaan.
Namun, kini tradisi itu perlahan memudar, traktor telah menggantikan cangkul, mesin perontok menggantikan kelompok pemanen. Semangat gotong royong yang dahulu menjadi bagian penting dari siklus pertanian, bergeser menjadi aktivitas individual yang efisien namun sunyi.
Kemajuan teknologi pertanian memang membawa banyak manfaat, diantaranya efisiensi waktu, pengurangan biaya tenaga kerja, dan hasil yang lebih stabil.
Namun di sisi lain, ia juga mengikis dimensi sosial dan budaya yang selama ini melekat dalam proses bertani.
Ketergantungan pada sesama manusia digantikan oleh ketergantungan pada mesin, dan ruang-ruang interaksi sosial mulai hilang. Kondisi ini menimbulkan dilema.
Di satu sisi, petani tak bisa menolak modernisasi untuk tetap bersaing dan bertahan hidup. Di sisi lain, ada kerinduan terhadap nilai-nilai lama yang mengandung rasa solidaritas, kepedulian, dan persatuan. Gotong royong bukan hanya soal membantu, tapi juga membentuk karakter masyarakat agraris yang kuat dan Tangguh.
Fenomena ini menarik untuk dikaji dalam perspektif ekologi sosial. Teknologi seharusnya hadir bukan untuk menghapus budaya, tetapi berdialog dan beradaptasi dengannya.
Oleh karena itu, perlu ada pendekatan transformatif, agar inovasi pertanian tetap sejalan dengan pelestarian nilai-nilai lokal seperti gotong royong.
Teknologi akan terus berkembang namun yang perlu dipastikan adalah hubungan sosial masyarakat yang tetap terjaga dan dipertahankan.
Editor: Aditya





















